|
KUNJUNGAN: Anggota tim pemburu perempuan malam sedang memeriksa para purel. (Eko Priyono/Jawa Pos/JawaPos.com)
|
|
|
Yayasan Orbit Surabaya memiliki tim yang khusus memburu perempuan
malam. Mereka keluar masuk ke tempat hiburan malam dengan gencar
menyosialisasikan bahaya HIV dan penyakit menular seksual. Tangani
ribuan orang. Banyak godaan dihadapi.
Oleh: EKO PRIYONO
HALAMAN parkir sebuah pub dan
tempat karaoke di kawasan Surabaya Utara masih tampak lengang saat jarum
jam menunjuk pukul 18.00. Seorang penjaga berpakaian safari berjaga di
pintu paling depan.
Dia terlihat ramah dan langsung mempersilakan masuk saat empat orang yang membawa tas jinjing mendekati pintu pub tersebut.
Malam itu dentuman
house music belum begitu terdengar. Hanya suara instrumen dengan volume lirih menemani karyawan yang sibuk menata dan membersihkan ruangan.
Tamu penikmat hiburan belum ada yang datang. ’’
Monggo Mas
Faisol. Anak-anak sudah siap di sana,’’ ucap seorang perempuan berambut
lurus sambil menunjuk ke arah salah satu ruang karaoke.
Sebelas perempuan berpakaian seksi duduk santai
sambil bercengkerama. Mereka menyambut ramah ketika empat orang dari
Yayasan Orbit Surabaya mendekati dan menyapanya.
Para purel
tersebut sudah paham bahwa
hari itu mereka kedatangan tamu untuk mendengarkan penjelasan terkait
penyakit infeksi menular seksual (IMS).
M. Faisol, koordinator program pendampingan dan
penjangkauan wanita pekerja malam Yayasan Orbit Surabaya, membuka
pertemuan itu dengan sapaan hangat.
Pertemuan tersebut merupakan kali kesekian. Tim pemburu
ladys club –sebutan lain tim tersebut– sudah bekerja sama dengan tempat hiburan dewasa itu sejak awal tahun ini.
Secara rutin mereka
nyambangi pekerja
perempuan di sana untuk menyosialisasikan penyakit HIV dan IMS. Dalam
pertemuan tersebut, Faisol sedikit mengulangi beberapa materi yang
disampaikan sebelumnya.
Dari pengertian penyakit infeksi seksual,
jenisnya, sampai cara penularannya. Dia juga membeberkan cara mendeteksi
dan mencegahnya.
Pada momen tersebut, tim pemburu datang bersama
petugas puskesmas setempat. Dia menawarkan tes HIV secara gratis.
Mendengar tawaran itu, para purel sempat tercengang.
Buru-buru, Faisol menjelaskan bahwa tes tersebut
hanya bersifat tawaran tanpa paksaan. ’’Tes ini sukarela. Kalau mau
silakan, tidak mau tidak apa-apa. Gratis,’’ jelasnya.
Kepada mereka, dia menjelaskan bahwa tes tersebut
bertujuan untuk memastikan apakah seseorang terjangkit penyakit infeksi
seksual menular atau tidak.
Hasil tes itu menjadi rahasia antara petugas yang
melakukan tes dan perempuan yang dites. Hanya segelintir perempuan yang
bersedia. Meski begitu, mereka tidak langsung dites menggunakan alat
yang dibawa.
Tim melakukan konseling prates. ’’Hanya ingin
memastikan bahwa mereka memang siap menjalani tes dan siap mengetahui
apa pun hasilnya,’’ ucap pria kelahiran Mojokerto itu.
Ketika beberapa petugas memberikan konseling
kepada peserta tes, petugas lainnya menjelaskan seputar penyakit infeksi
menular seksual.
Sesekali ada celetukan dari para perempuan itu
yang mengundang gelak tawa ketika penjelasan menyangkut materi tentang
organ intim dan hal-hal berbau seks.
Kegiatan itu berakhir ketika jarum jam menunjuk
pukul 20.00. Tim pemburu berpamitan dengan menyalami satu per satu purel
yang masih terlihat antusias. Mereka berjanji berkunjung lagi di lain
hari.
’’Jam 21.00 tamu
kan mulai datang. Kami
diberi kesempatan sampai jam 21.00,’’ jelasnya. Pub tersebut merupakan
salah satu di antara 30 tempat dugem di Surabaya yang disambangi tim itu
secara berkala.
Terkadang seminggu, kadang sebulan, kadang lebih.
Sebab, tempat yang dijangkau terbilang cukup banyak. Bukan hanya tempat
dugem, sejumlah lokasi yang dianggap rawan menjadi penularan HIV dan
IMS juga disambangi.
Misalnya, panti pijat, salon, wanita malam yang berkeliaran di jalanan, sampai
sales promotion girl pun tidak luput jadi sasaran. Yayasan Orbit Sendiri mencatat ada 170 tempat rawan HIV di Surabaya.
’’Kami baru bisa menjangkau sekitar 80 persen,’’
jelasnya. Faisol bersama timnya yang terdiri atas Reno Saputra, Suparno,
Budi Mulyono, dan Suranti menghadapi jalan terjal ketika memulai
aktivitas itu pada 2011.
Tidak sedikit lokasi yang menjadi target menolak
kehadiran mereka. Alasannya macam-macam. Terutama tempat dugem skala
besar. Baru bertemu petugas satpam di depan, mereka sudah diusir.
Dengan telaten menjelaskan tujuan kedatangannya, sebagian besar petugas tempat hiburan itu akhirnya mau menerima mereka.
Agar tidak mengganggu jam pekerjaan, manajemen
memberikan kesempatan kepada tim tersebut sebelum tempat dugem itu
beroperasi. Biasanya beberapa jam sebelum para perempuan malam tersebut
bekerja.
Namun, ada juga yang memberikan waktu ketika jam
bekerja. Tim pemburu itu memberikan sosialisasi kepada para perempuan
yang sedang menunggu tamu.
Mereka disediakan ruangan khusus untuk melakukan
sosialisasi. Terkadang, perempuan yang tengah mengikuti pemaparan
mendadak dipanggil karena ada tamu yang datang.
Tim tersebut juga berusaha memberikan sosialisasi
kepada tamu yang datang. Ada beberapa yang mau, tetapi dengan waktu
yang sangat terbatas. Namun, kebanyakan menolak.
’’Kami bisa memahami itu. Tidak masalah,’’ ujar bapak empat anak tersebut.
Berdasar pengalaman selama ini, mereka
menyimpulkan bahwa sebenarnya pekerja malam banyak yang tertarik dengan
informasi seputar HIV dan penyakit infeksi seksual.
Hanya, mereka malu dan tidak tahu harus bertanya
ke mana. Terbukti, tidak sedikit di antara mereka yang meminta tim
tersebut agar mendatangi rumah kosnya supaya lebih bebas bertanya.
Dalam memburu pekerja malam, petugas membawa alat
kelengkapan pencegahan. Dari buku kecil yang berisi informasi seputar
HIV dan penyakit infeksi seksual, kondom, sampai gel pelicin.
Seluruh peserta mendapat fasilitas tersebut
secara gratis. Tidak jarang, jika stok kondom habis, mereka menelepon
dan minta diantar.
Sebagian besar pekerja malam juga minim informasi
seputar HIV. Ada yang menganggap bahwa virus tersebut bisa menular
karena bersenggolan dan berciuman.
Namun, mereka sendiri kadang rela berhubungan badan tanpa alat pengaman dengan alasan memberikan kenyamanan kepada tamu.
Faisol menegaskan, pemberian kondom gratis itu
tidak berarti mendukung seks bebas. Namun, mereka ingin ada perubahan
perilaku seks sehingga bisa menurunkan angka penularan HIV.
Sebab, kini mereka merasa tidak ada dampak apa
pun dengan perilaku seks bebas. Padahal, HIV baru teridentifikasi
beberapa tahun kemudian.
Sejak 2011 sampai 2016 terdapat 1.341 perempuan
yang menjadi klien mereka. Angka itu tercatat karena mereka selalu
mendata seluruh perempuan malam yang pernah mengikuti sosialisasi.
Berada di lingkungan seks bebas menjadi tantangan
tersendiri bagi mereka. Karena sudah saling kenal dan akrab, ada juga
yang menggoda anggota tim pemburu.
’’Kami berusaha menolak dengan halus biar tidak
menyinggung mereka,’’ ungkapnya. Bukan itu saja. Memiliki kenalan banyak
perempuan kadang menjadi masalah yang berakhir runyam.
Misalnya, ketika sedang ke mal bersama keluarga,
tidak jarang bertemu klien yang pernah didampingi. Mereka mengenakan
pakaian ketat dan bersikap manja ketika bertemu.
Tentu, hal itu membuat sang istri curiga tingkat tinggi. Biasanya, setelah itu ujung-ujungnya bertengkar hebat. ’’Wajar curiga.
Lha perempuannya cantik dan seksi,’’ ucap Faisol, lantas tertawa.
Tim pemburu punya jurus tersendiri agar tidak
selalu dicurigai. Dalam beberapa kegiatan, pasangan mereka diajak untuk
melihat langsung apa yang dikerjakan selama ini.
Setelah itu, istri mereka baru paham bahwa tidak ada yang spesial antara tim pemburu dan perempuan seksi itu.
(*/c15/git/sep/JPG)
Sumber: http://www.jawapos.com/features/15/08/2016/tim-pemburu-perempuan-malam-yayasan-orbit-rutin-blusukan-ke-tempat-dugem