IA tak punya orang tua, tapi wawasannya luas, sanggup melihat yang orang luput atau tak sanggup melihatnya. Konco-konconya salut, misalnya, ke mereka yang ngaku senasib dengan kaum muslim di Rohingya, Myanmar. Ia tak serta-merta.
’’ Tunggu dulu!”
sergahnya hampir senja di bawah pohon ketapang. ’’Kok saya masih melihat
mereka tertawa, makan-makan di mal, cekikikan di tempat wisata...
Padahal sebelumnya orang-orang itu ngaku senasib ma orang-orang yang
ditembaki di Rohingya. Jadi, apa definisi senasib?”
’’Maksudmu senasib dengan korban di sana?”
’’Hmmm...
Bukan ’korban’. Nanti dikira mereka seperti sapi atau kambing di sini
yang disembelih untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. ’Korban’ kan akar
katanya ’qurb’. Maknanya sekitar mendekatkan diri. Saha- bat dekat kan
disebut ’karib’, ya dari ’qurb’ itu... ”
Lagi-lagi
karib-karibnya pada melongo. Ternyata ’’korban” bukan kayak ’’ victim”
dalam bahasa Inggris. ’’Pantesan sering dibilang, cinta perlu
pengorbanan,” bisik Sastro ke Jendro alias Jendrowati, kekasihnya.
Jendro balas membisik di pohon randu, ’’Setuju. Cinta perlu pengorbanan.
Perlu pendekatan.”
’’Aaaaaah, cinta tak
perlu pengorbanan!!! Saat kau mulai merasa berkorban, saat itu cintamu
mulai pudar!!!” jerit seseorang dalam suatu pemanggungan #TaliJiwo,
semacam puisi. ’’Setetes pun aku tak merasa berkorban ketika menembus
hujan dan badai menuju rumahnya, karena aku mencintainya penuh seluruh.”
Ooooooh ... Di bawah rembulan pantai selatan itu Jendro melongo. Sastro
menenangkan, ’’Mungkin seniman ini cuma memanfaatkan saja pengertian
’korban’ yang masih beredar luas dan salah kaprah di masyarakat.”
Esoknya
Sastro-Jendro kembali bertemu Si Wawasan Luas. Soal ’korban’ tak mereka
singgung lagi. Obrolan di warung kopi itu langsung ke soal definisi
’’senasib”.
’’Kalau yang ditembaki di
Rohingya istri, mungkin kita tidak tertawa-tawa. Itu namanya senasib-
sepenanggungan. Senasib saja, beda makna. Kita bisa bilang senasib
dengan yang ditembaki di Rohingya, habis itu ketawa-tawa di nikahannya
Raisa,” Satro dan Jendro timpaltimpalan.
BUDIONO/JAWA POS
Si
Wawasan Luas menarik kepalanya ke belakang, bibirnya mencibir. ’’Belum
tentu ketawa mereka berarti lena dan bahagia,” gumamnya. ’’Siapa tahu didalam
tawa mereka di mal, di tempat wisata, dan lain-lain itu terkandung
tangis juga. Semar kalau tertawa kan juga begitu. Di dalam tawanya
sekaligus terkandung air matanya yang paling bening.” Saking jembarnya
pandangan Si Wawasan Luas ini semua secara aklamatif memilihnya sebagai
sutradara untuk pementasan drama pendek. Judulnya Antara Ronaldo dan
Aung San Suu Kyi.
Dalam naskah yang
ditulis Sastro Jendro ditekankan bahwa atas kasus di negerinya yaitu
Rohingya, Aung San Suu Kyi dianggap sudah tak main perdamaian lagi.
Nobel Perdamaian yang disandangnya harus ia kembalikan. Apakah Ronaldo
juga harus mengembalikan piala-pialanya termasuk FIFA Ballon d’Or bila
sudah tak main bola lagi?
Si Wawasan Luas
oke. Syaratnya, selama latihan pemain tak boleh absen. Pada latihan
ke17 pemeran kekasih Ronaldo absen sekali. Bolosnya karena kesiangan.
Semalam insomnia gegara suntuk memikirkan duluan mana, telor apa ayam.
DPR yang tak punya orang tua mungkin membubarkan KPK yang juga tak punya
orang tua, atau KPK mungkin nangkepin orang-orang DPR yang mungkin akan
membubarkannya. Sutradara memecatnya!
Sastro-Jendro
mbatin, ’’Wawasanmu tak luas lagi. Kamu sanggup melihat yang tak kami
lihat? Tidak! Orang tua pemain ini sudah beli tiket pesawat PP
Aceh-Jogja untuk pergelaran 28 Oktober mendatang. Itu ngutang. Mestinya
tanya dulu kami apakah pemain ini punya orang tua?” (*)
Jawa Pos.
Sujiwo Tejo tinggal di www.sujiwotejo.net
0 komentar:
Post a Comment