Tiap Kecamatan Punya Kantong
Bermula dari Pil Koplo
SURABAYA
– Hati Olaf (nama samaran, Red) langsung mencelos. Dia menemukan botol
kecil yang dimodifikasi dengan slang isap di bagian atasnya di tas Hadi
(juga nama samaran), anaknya. Meski tak pernah memakai narkoba, Olaf
tahu anaknya terkena jerat narkoba.
Itu
yang membuat bingung Olaf. Dia marah, tetapi tahu marah tidak
menyelesaikan masalah. ’’Saya tahu jika saya tanya langsung dengan
marah, dia pasti akan berdalih,’’ katanya. Di sisi lain, jika orang tua
terlalu sabar dan diam saja, si anak bakal semakin parah. Melaporkannya
ke BNN? Sebagai orang tua, tentu dia tidak ingin anaknya berurusan
dengan hukum. ’’Saya masih bingung. Tak tahu apa yang harus dilakukan,’’
ucapnya.
Olaf tidak sendirian. Prevalensi
narkoba di Surabaya memang sudah pada taraf mengkhawatirkan. Tiap
kecamatan di Surabaya mempunyai kantong pengguna masing-masing.
Setidaknya,
itulah hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Our Right to be
Independent (Orbit) Surabaya. Pembina Orbit Surabaya Rudhy Wedhasmara
mengungkapkan, di dalam kantong-kantong pengguna tersebut, anak-anak
masuk dalam populasi tersembunyi. Pihaknya belum bisa memastikan
jumlahnya dengan pasti. ’’Namun, jumlahnya cukup besar. Selama ini kami
menangani banyak anak berusia 14–17 tahun,” ujarnya.
Para
remaja itu mengaku mengenal narkotika sejak masih duduk di bangku
sekolah dasar. Mereka terpengaruh oleh teman-teman pergaulannya. Berawal
dari konsumsi rokok, mereka lalu mulai mengonsumsi pil koplo.
’’Harganya murah dan gampang didapat. Biasanya, mereka mencampur dengan
minuman atau es,” jelasnya.
Dari situlah,
para remaja tersebut semakin berani mencoba-coba narkotika golongan dua,
bahkan sampai golongan satu. Mereka juga tidak segan mencoba-coba
narkoba suntik. Karena heroin sulit dicari, obat penenang yang dijual di
apotek pun digu nakan sebagai pengganti. ’’ Para pengguna remaja ini
bahkan sering membeli obat di warung hanya untuk merasakan sensasi
penyuntikan,” ungkapnya.
Untuk kasus-kasus
seperti itu, pihaknya lebih cenderung melakukan pendekatan ke mereka.
Tujuannya, agar dekat dengan pelayanan kesehatan maupun sosial.
Harapannya, mereka akan mengurangi frekuensi pemakaian dan akhirnya
berhenti. Termasuk disadarkan akan dampak penyakitnya. ’’Apabila mereka
sadar, tetapi sulit berhenti, kita akan rujuk ke tempat perawatan
ataupun rehabilitasi,” ujarnya.
Upaya
lainnya, dengan mendekati tokoh masyarakat setempat. Yakni, dimulai dari
kelurahan dan kecamatan agar mereka juga terlibat dalam upaya
penanggulangan narkoba.
Tetapi, hal itu
tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak pihak kecamatan atau
kelurahan yang khawatir malah memberikan cap buruk di wilayahnya.
’’Padahal, kalau bersinergi, penanggulangan bisa dilakukan secara
holistik sesuai peran masing-masing,” jelasnya.
Wilayah
bebas narkoba bisa diwujudkan, tidak sebatas slogan cantik. ’’Misalnya,
kampung bebas narkoba, tetapi kenyataannya tidak,” tegasnya.
Meski
begitu, tidak semua kecamatan atau kelurahan seperti itu. Ada juga yang
mendukung penuh. Misalnya, Kecamatan Tambaksari dan Gubeng. Wilayah
lain diharapkan dapat mengadopsi hal tersebut. Wilayah tersebut bisa
dijadikan role model untuk wilayah lain. Sebab, komitmen penanggulangan
narkoba dari pimpinan aparatur pemerintah itu sangat dibutuhkan.
’’Parahnya, hal tersebut tidak jadi prioritas,” keluhnya. (aji/c20/ano)
Jumlahnya
(pengguna narkoba) cukup besar. Selama ini kami menangani banyak anak
berusia 14–17 tahun.” Rudhy Wedhasmara Pembina Yayasan Orbit Surabaya
https://www.pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20170713/282501478672516
0 komentar:
Post a Comment