Our Right To Be Independent | Members area : Register | Sign in

Orbit Update News

Vonis Rehabilitasi Korban Napza Masih Langka

Share this history on :
Surabaya (Mitranews) - Yayasan Orbit menyayangkan adanya tindakan diskriminasi terhadap korban narkotika, psikotropika dan zat adiktif (Napza) yang dilakukan kepolisian dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Sikap diskriminatif terjadi pada vonis terhadap korban napza dan penangkapan terhadap sejumlah korban napza di rumah sakit dan puskesmas.

Ketua Yayasan Orbit, Rudy Wedhasmara mengatakan, vonis rehabilitasi adalah vonis yang “langka”. Pada praktiknya pengadilan jarang sekali memberikan vonis rehabilitasi kepada masyarakat umum yang terjerat kasus narkoba. Hanya orang-orang tertentu yang biasanya dapat vonis rehabilitasi termasuk kalangan artis.

Menurut dia, sebenarnya tidak ada yang salah dengan vonis rehabilitasi untuk para pecandu narkoba. Yang menjadi pertanyaan adalah vonis rehabilitasi ini dijatuhkan kepada pengedar atau bahkan bandar narkoba. Vonis rehabilitasi tidak akan pernah didapatkan oleh korban napza yang tergolong tidak mampu. Kalaupun mendapat vonis rehabilitasi, biaya yang ditanggung sangat mahal, dan hanya bisa dijangkau oleh mereka yang mampu.

Di Jawa Timur, khususnya Surabaya, biaya rehabilitasi tidak ditanggung oleh pemerintah. Masyarakat miskin yang terdaftar dalam Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), juga tidak bisa menjalani rehabilitasi, karena komponennya tidak masuk dalam jaminan kesehatan.

Pemberian vonis rehabilitasi ini sebenarnya mengacu para paradigma kesehatan masyarakat dalam pemberantasan narkoba, dimana para pecandu dianggap sebagai korban.

Selain paradigma kesehatan masyarakat, paradigma lainnya dalam pemberantasan narkoba, adalah supply reduction atau pengurangan penawaran narkoba. Dalam bidang ini yang berperan adalah aparat penegak hukum untuk memberantas peredaran, melakukan penangkapan dan memproses hukum pengedar, bandar, produsen.

Kemudian, ada pula demand reduction yaitu pengurangan permintaan narkoba. Yang berperan dalam bidang ini masyarakat umum melalui kampanye bahaya narkoba, penguatan komunitas masyarakat melalui penyuluhan, seminar dan semacamnya.

“Dua pendekatan diatas telah lama dilakukan oleh negara-negara lain, tidak terkecuali Indonesia,” ujar Rudhy, Rabu (30/1).

Dari dua paradigma itu, belakangan muncul paradigma harm reduction atau penggurangan dampak buruk narkoba. Paradigma ini muncul sekitar tahun 2000an. Dalam harm reduction memandang persoalan narkoba dari sisi kesehatan masyarakat. Harm reduction dilaksanakan untuk orang-orang belum terkena, dilakukan upaya pencegahan. Sementara, yang sudah terjerat narkoba didekatkan pada layanan-layanan. Tujuannya agar ada perubahan perilaku dari yang beresiko tinggi ke perilaku yg beresiko rendah hingga tidak beresiko.

Dalam harm reduction kegiatannya dapat bermacam-macam misalnya edukasi ke komunitas pecandu, konseling, terapi dan rehabilitasi. Konsep harm reduction ini sebenarnya sudah diakomodasi oleh Kementerian Kesehatan yang dibuktikan banyak aturan-aturan yang mendukung harm reduction.

Sayangnya, paradigma ini belum menjadi kesepakatan umum antar lembaga, misalnya Kementerian Kesehatan dengan Badan Narkotika Nasional dan Polri. Kedua lembaga ini, tidak mendukung harm reduction. “Polri dan BNN tidak sejalan karena dalam UU Pidana dan UU Narkotika bertentangan dengan pendekatan kesehatan masyarakat,” ujar Rudhy.

Rudhy memberikan contoh, dalam UU Pidana dan UU Narkotika mengatur jika seseorang yang mengetahui tindak pidana tidak melaporkan penggunaan narkoba ilegal maka dapat dipidanakan. Ini bertentangan dengan upaya edukasi di komunitas pecandu untuk dibawa menuju ke pemulihan.

“Dengan pasal ini sebenarnya petugas lapangan yang sedang memberikan penyuluhan tentang bahaya narkoba di komunitas pecandu, bisa ditangkap karena tidak melaporkan ke polisi,” ujarnya.

Bukti dari tidak mendukungnya polisi pada harm reduction terlihat pada saat menangkap korban napza, yang menjalani perawatan di rumah sakit maupun puskesmas. " Selama tahun 2012, kami mencatat ada 12 penangkapan di rumah sakit dan puskesmas. Ini yang membuat pengguna napza takut ditangkap saat mengakses ke rumah sakit maupun puskesmas," tegas Rudy.

Data Badan Narkotika Nasional menyebutkan di Surabaya ada 182.309 orang pengguna napza, sedangkan di Jatim mencapai 828.755 orang. Sedangkan versi Kementrian Kesehatan, khusus untuk pengguna napza suntik, ada sekitar 4.359 orang di Surabaya, dan 25 ribu orang di Jawa Timur. Yayasan Orbit sendiri memiliki dampingan pengguna napza suntik di Surabaya, sekitar 642 orang. Dari jumlah itu, Yayasan Orbit telah membantu 71 korban napza untuk menjalani rehabilitasi.(vie)

(Sumber:http://www.mitranews.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=4452)
Thank you for visited us, Have a question ? Contact on : info@orbit.or.id
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Post a Comment