VHRmedia, Surabaya – Polisi dan Badan Narkotika Nasional dinilai diskriminatif
terhadap pengguna narkotika dari kalangan kelas menengah ke bawah.
Ketua Yayasan
Orbit, Rudhy Wedhasmara mengatakan, pemberian sanksi rehabilitasi terhadap
korban narkotika, masih terbatas pada masyarakat mampu atau artis. Biaya
rehabilitasi juga belum terjangkau masyarakat tidak mampu.
Menurut Rudhy, polisi
dan BNN jarang memberikan kesempatan rehabilitasi terhadap korban narkotika.
Dia setuju hukuman pidana diberikan terhadap pengedar dan bandar narkotika.
Di Surabaya
misalnya, biaya rehabilitasi narkotika tidak ditanggung oleh pemerintah. Pasien
narkotika pemilik kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), tidak dapat mengklaim biaya pengobatan karena
komponen rehabilitasi narkotika tidak masuk dalam jaminan kesehatan.
Pemberian
kesempatan rehabilitasi terhadap pengguna narkotika mengacu pada paradigma pengurangan
dampak buruk narkotika melalui sudut pandang kesehatan masyarakat. Pecandu narkotika
dianggap sebagai korban.
Paradigma lainnya
dalam pemberantasan narkotika melalui supply
reduction atau pengurangan penawaran narkotika. Paradigma ini menekankan
fungsi aparat hukum untuk memberantas peredaran, melakukan penangkapan, dan
memproses hukum pengedar, bandar, dan produsen narkotika.
Ada juga pendekatan demand reduction yaitu pengurangan permintaan narkotika. Demand reduction mengutamakan kampanye
bahaya narkotika, penguatan komunitas masyarakat melalui penyuluhan, dan seminar.
“Pendekatan pengurangan
penawaran dan permintaan narkotika sudah lama dilakukan oleh negara-negara
lain, termasuk Indonesia,”
kata Rudhy, Rabu (30/1).
Paradigma pengurangan
dampak buruk narkotika muncul sekitar tahun 2000-an. Pendekatan yang dilakukan
terhadap para pecandu melalui konseling dan rehabilitasi.
Tujuannya agar terjadi
perubahan perilaku dari beresiko tinggi ke perilaku beresiko rendah bahkan hingga
sembuh total. Konsep pengurangan dampak buruk narkotika diakomodasi Kementerian
Kesehatan melalui sejumlah aturan rehabilitasi pengguna narkotika.
“Polri dan BNN
tidak sejalan (dengan peradigma pengurangan dampak narkotika) karena dalam KUHP
dan UU Narkotika bertentangan dengan pendekatan kesehatan masyarakat,” ujar Rudhy.
Rudhy memberikan
contoh, dalam KUHP dan UU Narkotika disebutkan, jika seseorang tidak melaporkan
penggunaan narkotika ilegal dapat dipidana. Ini bertentangan dengan upaya
edukasi dan pemulihan pada korban narkotika.
“Dengan pasal ini, petugas
lapangan yang sedang memberikan penyuluhan tentang bahaya narkotika di
komunitas pecandu dapat ditangkap karena tidak melapor ke polisi,” ujar Rudhy.
Bukti polisi dan
BNN tidak mendukung pendekatan pengurangan dampak narkotika, terlihat saat korban
narkotika ditangkap ketika sedang menjalani perawatan di rumah sakit dan puskesmas.
Menurut Rudhy, selama
tahun 2012 terjadi 12 penangkapan korban narkotika di rumah sakit dan
puskesmas. Ini menyebabkan korban narkotika takut mengakses layanan kesehatan
di rumah sakit dan puskesmas.
Wakapolri, Komjen
Pol Nanan Sukarna mengimbau pengguna narkotika melapor ke polisi. “Dia korban,
tugas negara merehabilitasi yang bersangkutan. Kami bantu,” kata Nanan Sukarna,
29 Januari 2013.
Dalam UU 35/2009 tentang
Narkotika disebutkan, pecandu yang tertangkap tangan tidak akan diproses pidana
tapi dikenai wajib lapor dan menjalani rehabilitasi. Pecandu baru dijebloskan
ke penjara jika tertangkap tangan hingga 3 kali.
Berdasarkan data Badan
Narkotika Nasional, terdapat 182.309 pengguna narkotika di Surabaya. Pengguna narkotika di Jawa Timur
mencapai 828.755 orang.
Menurut laporan Kementerian
Kesehatan, pengguna narkotika jenis suntik di Surabaya mencapai 4.359 orang, dan 25 ribu
orang di Jawa Timur. (E1)
(Sumber:http://www.vhrmedia.com/new/berita_detail.php?id=1247)
0 komentar:
Post a Comment