SURABAYA - pencegahan penularan HIV/AIDS sampai sekarang sulit
diwujudkan secara nyata. Meski kini kalangan DPRD Surabaya dan
Pemerintah Kota (Pemkot) sedang menggodok Rancangan Peraturan Daerah
(Raperda)-nya, namun Raperda ini belum tentu bisa mencegah dan
melindungi penderitanya.
“Saya melihatnya seperti itu. Ketika
Pemkot dan dewan mempromosikan kondom sebagai alat pencegahan penularan
HIV/AIDS, Pemkot dan dewan justru bisa dituduh melegalkan prostitusi
atau hubungan suami istri di luar pernikahan. Sebaliknya, kalau cara itu
tidak dilakukan Pemkot dan dewan dianggap tak peduli dengan penyebaran
penyakit mematikan ini,” kata Wakil Ketua Komisi C DPRD Surabaya,
sekaligus anggota Panitia Khusus (Pansus) pembahas Raperda HIV/AIDS,
Rabu (27/2).
Selain itu, katanya, dalam mendeteksi virus
HIV/AIDS Pemkot tidak bisa bersikap terbuka atau transparan. Karena,
kalau diinformasikan secara terbuka, justru jadi bumerang. Sebab,
penderitanya bisa dijauhi tetangga dan keluarganya, dengan alasan
penyakitnya menular.
Seharusnya, kata dia, ketika Dinas
Kesehatan (Dinkes) kota sudah mendapatkan informasi bahwa seseorang
terdeteksi pengidap virus HIV/AIDS melalui pemeriksaan darah di PMI
langsung mengawal di penderita itu.
Bahkan, Dinkes yang sudah
menerima hasil pemeriksaan secara lengkap, tapi tak kunjung memperoleh
kepastian alamat dan domisili di penderita itu sendiri. “Kadang
penderitanya tidak ke Dinkes atau rumah sakit yang ditunjuk, atau
kembali lagi ke PMI alias kabur, sehingga Dinkes tidak bisa melakukan
pemeriksaan lanjutan kepada penderita dan pengawalan perawatan
penyakitnya. Maka ini yang terjadi dan kini naiklah jumlah
penderitanya,” ujarnya.
Coba bayangkan, lanjutnya, jumlah
penderita HIV/AIDS-nya telah mencapai 5.575 penderita. Data mengejutkan
itu justru dikeluarkan Dinkes Kota Surabaya sendiri. Bahkan, tidak
tanggung-tanggung Kota Surabaya menduduki peringkat pertama dalam jumlah
penderita HIV/AIDS di Jawa Timur.
Menurutnya, sampai kapan
pun masalah ini tidak akan pernah tuntas. Bahkan, masalah HIV/AIDS akan
menjadi gunung es, jumlahnya penderitanya sudah sangat banyak, tapi
tidak terlihat secara kasat mata.
“Kalau mau ngontrol masalah
perkembangan HIV/AIDS dsaya sarankan petugasnya bekerja seperti
inteljen, dia sembunyi tapi memberikan laporan ke lembaga yang menangani
masalah in,” terangnya.
Anggota Komisi C DPRD Surabaya, Reny
Astuti mengatakan, untuk menanggulangi masalah HIV/AIDS di Surabaya,
dibutuhkan koneksitas antarlembaga di Surabaya. Contoh untuk
penanguulangan HIV/ AIDS di kawasan prostitusi, maka mau tidak mau
Dinkes harus kerja sama Dinas Sosial (Dinsos). “Kegiatan itu kan
dampaknya sosialnya sangat tinggi, maka yang turun tangan harus Dinsos
dan Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapemas, red),” sarannya.
Menurutnya,
jika semua pihak menginginkan Raperda penanggulangan HIV/AIDS berfungsi
dengan baik, maka dibutuhkan keseriusan dari semua kalangan.
“Saya
melihatnya sekarang ini penanganan masalah HIV/AIDS di Surabaya tidak
serius dan tidak transparan. Ini yang mebuat kesal banyak pihak atas itu
semuanya. Sementara jumlah penderitanya terus menggunung,” tandas
wanita yang juga ketua pansus HIV/AIDS.
Kepala Dinkes Surabaya
Esty Martinan Rachmi mengatakan, bagaimana pun sulitnya penanganan
penderita HIV/AIDS, Pemkot tetap akan berjuangan mencegah dan
menanggulanginya. Kini konsep penanganannya sudah dikerjakan.pur
(Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=084835ab5bafc50acade63178edb2c96&jenis=c81e728d9d4c2f636f067f89cc14862c)
0 komentar:
Post a Comment