SURABAYA - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Surabaya
protes Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pencegahan HIV/AIDS. Menurut
mereka, isi Raperda yang sedang dibahas di DPRD Surabaya itu belum
memuat kunci pencegahan HIV/AIDS. Para aktivis berpendapat kunci utama
dalam menanggulangi masalah HIV/AIDS adalah tersedianya rumah pemulihan
atau shelter. Namun dalam Raperda tidak pernah disinggung.
“Pembahasan
Raperda Penanggulangan HIV/AIDS yang saat ini dibahas di Komisi C DPRD
Surabaya belum pas kalau tidak mengajak penggiat penanggulangan
HIV/AIDS,” ungkap Irma, perwakilan LSM Penggiat Pencegahan HIV/AIDS,
Rabu (23/1).
Dalam penanggulangan HIV/AIDS, lanjutnya, tidak
hanya berbicara soal pemulihan kesehatan saja. Tapi, juga penanganan
aspek psikologis dan sosialnya seperti penerimanaan masyarakat dan
kemandirian. Sementara shleter juga wahana yang terbaiknya.
Irma
menjelaskan, selama ini permasalahan shelter memang kerap disepelekan.
Namun merujuk pasca meninggalnya salah satu penderita HIV/AIDS yang
ditolak oleh keluargnya beberapa saat yang lalu, dirinya menilai rumah
pemulihan mutlak dibutuhkan. “Kami pernah mengajukan pengadaan shelter
untuk Surabaya ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tapi hingga saat ini
belum terealisasi,” terangnya.
Apalagi, tambahnya, selama ini
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) perawatanya sering dilimpahkan ke
Lingkungan Pondok Sosial (Liponsos) Surabaya. Sehingga tidak
mengherankan jika banyak ODHA yang justru meninggal dunia. “Liponsos
tidak memiliki peralatan khusus penanganan bagi ODHA dan kami juga heran
bagi penderita HIV/AIDS yang ditolak keluarganya malah di taruh di sana
(Liponsos, red),” tegas Irma.
Sementara ketika disinggung
rencana Dinas kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya yang berencana menjalin
kerjasama dengan 7 rumah sakit dalam penanggulangan HIV/AIDS di
Surabaya, secara tegas dirinya meragukan rencana tersebut bakal
berhasil. Menurutnya, sejauh ini hanya RSU dr Soetomo yang memiliki
peralatan yang lengkap. “Tidak semua rumah sakit bisa menangani masalah
HIV/AIDS, sebab ada kriteria dan sarana yang harus dimiliki,” tandasnya.
Sementara
Hari Sabit, perwakilan dari Yayasan Genta Surabaya, menyoroti
pemulangan sejumlah Pekerja Seks Komersial (PSK) yang saat ini kerap
dilakukan. Menurutnya, pemulangan PSK dalam konteks penanggulangan
HIV/AIDS tidak akan berjalan efektif. Karena fakta yang terjadi
kemudian, banyak PSK yang kembali membuka praktik di daerah lain.
“Menurut
saya, itu bukan memecahkan masalah, tapi malah justru membuat masalah
baru. Sebab keberadaan PSK serta penyebaran HIV/AIDS semakin sulit
terkontrol, apalagi dalam pembahasan sekarang kami juga tidak lagi
dilibatkan,” ujar Hari Sabit.
Kendati demikian, dirinya tetap
memberikan apresiasi terhadap beberapa pasal yang bertujuan melindungi
ODHA. Salah satu contohnya, bakal dimasukannya HIV/AIDS dalam kurikulum
sekolah.
Terpisah, Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda
Penanggulangan HIV AIDS, Reni Astuti berharap semua pihak bersabar.
Menurutnya, dalam Raperda itu, pihaknya akan mengundang semua
stakeholder terkait.
“Waktu pembahasan Perda kan cukup lama,
yaitu 60 hari masa kerja. Tidak usa khawatir semua pasti akan kita
undang, tapi ya itu tadi secara bergantian,” tandas legislator asal
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.pur
(Sumber: http://www.surabayapost.co.id/?mnu=berita&act=view&id=820f2d66a2079ff2846abc1c9f675ce3&jenis=c81e728d9d4c2f636f067f89cc14862c)
0 komentar:
Post a Comment