KBRN, Surabaya : Pembahasan rancangan peraturan
daerah (rapeda) Penanggulangan HIV Aids di Komisi C DPRD Surabaya,
dipersoalkan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli AIDS di
Surabaya. Mereka menilai, isi raperda yang saat ini sedang dibahas,
belum sesuai harapan polulasi kunci HIV/AIDS.
Menurut salah satu anggota LSM, Irma, kunci utama dalam menanggulangi
masalah AIDS adalah tersedianya rumah pemulihan atau Shelter. Namun,
dalam pembahasan yang sedang berlangsung permalahan pokok tersebut tidak
pernah disinggung sama sekali. Padahal dalam penanggulangan masalah
AIDS secara kemperehensif, hal itu sangat dibutuhkan.
“Dalam penanggulangan HIV AIDS tidak hanya berbicara soal pemulihan
kesehatan saja. Tapi juga penanganan aspek psikologis dan sosialnya
seperti penerimanaan masyarakat dan kemandirian. dan shleter itulah
wahana yang terbaiknya,” ungkap Irma, Selasa (22/1/2013).
Irma menjelaskan, selama ini permasalahan shelter memang kerap
disepelekan. Namun, merujuk pasca meninggalnya salah satu penderita AIDS
yang ditolak oleh keluargnya beberapa saat yang lalu, dirinya menilai
kebutuhan rumah pemulihan mutlak dibutuhkan.
“Memang kami pernah mengajukan pengadaan shelter untuk Surabaya ke
Kementerian Kesehatan, tapi hingga saat ini belum terealisasi,”
terangnya.
Apalagi, tambah perempuan paru baya ini, selama ini penderita HIV
AIDS atau ODHA perawatanya sering dilimpahkan ke Liponsos. Makanya tidak
mengherankan jika banyak ODHA yang justru meninggal dunia.
“Liponsos tidak memiliki peralatan Khusus penanganan bagi ODHA,
makanya kami juga heran bagi penerita HIV AIDS yang ditolak keluarganya
malah di taruh di sana (Liponsos, red),” tegas Irma.
Sementara ketika disinggung rencana Dinas kesehatan (Dinkes) Kota
Surabaya yang berencana menjalin kerjasama dengan 7 rumah sakit dalam
penanggulangan AIDS di Surabaya, secara tegas dirinya meragukan rencana
tersebut bakal berhasil. Menurutnya, sejauh ini hanya RSUD dr Soetomo
yang memiliki peralatan yang lengkap.
“Tidak semua rumah sakit bisa menangani masalah AIDS, sebab ada kriteria dan sarana yang harus dimiliki,” tandasnya.
Sementara Hari Sabit, perwakilan dari Yayasan Genta Surabaya,
menyoroti pemulangan sejumlah pekerja seks komersial (PSK) yang saat ini
kerap dilakukan. Menurutnya, pemulangan PSK dalam konteks
penanggulangan HIV tidak akan berjalan efektif. Karena fakta yang
terjadi kemudian, banyak PSK yang kembali membuka praktek di daerah
lain.
“Kalau menurut saya itu bukan memecahkan masalah, tapi malah justru
membuat masalah baru. Sebab keberadaan PSK serta penyebaran HIV AIDS
semakin sulit terkontrol, apalagi dalam pembahasan sekarang kami juga
tidak lagi dilibatkan,” tegas Hari Sabit.
Menurut dia, terkait penanganan terhadap ODHA, bisa dikatakan LSM
lebih faham dibandingkan dengan Dinas kesehatan. Karena selama ini LSM
yang lebih banyak bersentuhan langsung dengan permasalahan HIV AIDS.
Meski demikian, dirinya tetap memberikan apresiasi terhadap beberapa
pasal yang bertujuan melindungi ODHA. Salah satu contohnya, bakal
dimasukannya HIV AIDS dalam kurikulum sekolah.
“Kalau bisa kami tetap dilibatkan, sebab para LSM juga ingin
memberikan sumbangsi pemikiran bagi Raperda penanggulangan HIV AIDS yang
sedang dibahas di legislatif,” harap pria berambut gondrong ini.
Terpisah,
Ketua pansus Raperda penanggulangan HIV AIDS, Reni Astuti berharap
semua pihak bersabar. Menurutnya, dalam rancangan peraturan daerah yang
ia ketua tersebut, pihakny akan mengundang semua stake holder terkait.
“Waktu pembahasan perda kan cukup lama, yaitu 60 hari masa kerja.
tidak usa khawatir semua pasti akan kita undang, tapi ya itu tadi secara
bergantian,” tandas legislator asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
itu. (Indriatno/HF)
(Sumber:http://rri.co.id/index.php/berita/41169/Raperda-HIV/AIDS-Dipersoalkan-LSM-Peduli-AIDS-Surabaya#.UQKkjvLyR-a)
0 komentar:
Post a Comment