PEMANDANGAN UMUM
FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
TERHADAP
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA
TENTANG
PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS
Berikutnya mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang Penanggulangan
HIV dan AIDS, Fraksi PKS menyampaikan pemandangan umum sebagai berikut.
Epidemi HIV di Indonesia telah terjadi sejak 20 tahun yang lalu dan
telah menjadi salah satu penyakit yang menyebabkan kematian tertinggi di
dunia dan di Indonesia. Kasus HIV dan AIDS di Indonesia pada umumnya
dan di Kota Surabaya pada khususnya meningkat terus dari tahun ke tahun.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa belum ada upaya yang signifikan
untuk mengurangi kasus HIV dan AIDS oleh pemerintah yang memiliki
tanggung jawab penuh untuk menciptakan masyarakat sehat. Oleh karena itu
Raperda tentang penanggulangan HIV dan AIDS ini semoga bisa menjadi
momentum dan pelecut bagi pemerintah untuk lebih serius dalam penanganan
epidemi HIV di Kota Surabaya.
Penyebaran dan penularan HIV lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku
manusia, oleh karena itu penanggulangan HIV dan AIDS harus diutamakan
pada pendekatan sosiologis daripada pendekatan normatif dan legal formal
semata. Setelah mempelajari isi dari Raperda tentang Penanggulangan HIV
dan AIDS, Fraksi PKS berpendapat bahwa Raperda ini masih belum kuat
dalam mendorong pemerintah untuk melakukan usaha penanggulangan HIV
secara sistematis dan terencana, karena hampir sebagian besar isi
Raperda ini masih bersifat normatif dan banyak pasal yang kurang jelas
arah dan tujuannya serta banyak pasal yang menimbulkan multitafsir yang
memiliki potensi terjadinya gejolak sosial dalam masyarakat. Oleh karena
itu Fraksi PKS meminta kepada Saudari Walikota untuk menjelaskan secara
detail Rencana Strategi Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Surabaya
secara integral dan komprehensif sehingga akan nampak jelas sejauh mana
efektifitas implementasi Raperda Penanggulangan HIV dan AIDS di Surabaya
terutama dalam menciptakan perilaku hidup masyarakat Kota Surabaya yang
bebas dari penularan HIV. Hal ini penting supaya penanggulangan HIV dan
AIDS tidak bersifat tambal sulam dan reaktif semata.
Fraksi PKS memandang ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam Raperda Penanggulangan HIV dan AIDS antara lain:
- Isi Pasal 2 dan Pasal 3 merupakan sesuatu yang melekat dalam fungsi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah sehingga tanpa adanya Raperda ini pun fungsi itu merupakan tanggung jawab yang melekat yang harus dilaksanakan secara mandatory dari tugas dan fungsi (Tupoksi) dari Dinas / SKPD terkait. Oleh karena HIV dan AIDS sudah merupakan epidemi yang lama terjadi dan belum ada perbaikan, maka diperlukan langkah-langkah strategik yang bersifat breakthrough untuk penyelesaian epidemi HIV dan AIDS di Kota Surabaya
- Fungsi Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dalam Pasal 18 perlu ditelaah lebih lanjut, supaya tidak terjadi overlapping fungsi dengan dinas atau SKPD yang ada supaya tidak menimbulkan inefisiensi anggaran dan fungsi. Terlalu banyak komisi yang bersifat task force akan semakin menunjukkan tidak berjalannya fungsi koordinasi antardinas atau SKPD dan menunjukkan tidak berfungsinya dinas dan SKPD. Naskah akademik pada halaman 18 – 22 telah menjelaskan fungsi dari KPA, akan tetapi dalam kajian Fraksi PKS apa yang dipaparkan dalam naskah akademik tentang fungsi KPA akan menghilangkan fungsi dan tanggung jawab dinas atau SKPD tertentu dan rentan menimbulkan konflik organisasi. Yang kedua, tugas dan fungsi KPA masih bersifat normatif dan kurang operasional. Lalu sampai kapankah keberadaan KPA tersebut?
- Pasal 15 ayat 1 dan Pasal 17 ayat 1 tentang kewajiban pemerintah dan dukungan pemerintah masih bersifat normatif dan multitafsir. Jika pemerintah akan serius dalam penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Surabaya maka perlu kebijakan anggaran yang eksplisit yang akan dianggarkan untuk tindakan penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Surabaya untuk merealisasikan isi kedua pasal tersebut, sebagaimana kebijakan anggaran untuk pendidikan yang tertulis jelas dalam undang-undang pendidikan.
- Pasal 25 huruf b bertentangan dengan tujuan Raperda ini dan bertentangan dengan isi pasal 24. Selama HIV test bukan sebagai alasan penolakan untuk mempekerjakan pengidap HIV, maka HIV test penting sebagai upaya penanggulangan penyebaran HIV supaya karyawan HIV mendapatkan perhatian khusus dari perusahaan tempat bekerja. HIV test dapat dilakukan sebagai upaya identifikasi dan penanganan khusus bagi karyawan atau pun calon karyawan.
- Pasal 35 ayat 1 yang menjelaskan tentang sanksi atas pelanggaran pada pasal 19, 20 dan 21 perlu dikaji dalam pendekatan sosiologis. Pelanggaran pada pasal 19 dan 20 akan sulit diidentifikasi pelanggarannya dan bagaimana pembuktiannya sehingga sanksi pelanggaran atas pasal 19 dan 20 kurang operatif. Pasal 21 memberikan kesan pemerintah bersifat pasif karena masyarakat yang menjadi obyek pasal tersebut diperintahkan untuk melapor. Pendekatan ini memberi kesan pemerintah lepas tangan dan cenderung akan menyalahkan masyarakat yang menjadi obyek pasal tersebut. Secara psikologis dan sosiologis orang yang beresiko terkena HIV akan merasa malu dan enggan untuk melaporkan diri dan mengikuti pemeriksaan. Oleh karena itu pemerintah perlu secara aktif melakukan pendekatan persuasif kemanusiaan dan pendekatan psikologis daripada pendekatan hukum.
0 komentar:
Post a Comment