Our Right To Be Independent | Members area : Register | Sign in

Orbit Update News

Perlunya Mendorong Sensitivitas Gender dalam Meningkatkan Cakupan Layanan Kesehatan di Program Harm Reduction – kota Surabaya

Share this history on :
Penanganan terhadap pengguna napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya) suntik terkait persoalan HIV/AIDS di kota Surabaya telah dilakukan sejak tahun 2002. Program yang di kenal dengan istilah Harm Reduction atau penggurangan dampak buruk napza suntik ini menggunakan 12 komponen pendekatan, yaitu: Penjangkauan dan pendampingan; Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE); Penilaian pengurangan resiko; Konseling dan testing sukarela (VCT); Program penyucihamaan jarum suntik; Program layanan jarum suntik steril (LJSS); Pemusnahan peralatan seluruh bekas pakai; Layanan terapi ketergantungan napza; Pusat layanan subtitusi oral; Layanan perawatan, dukungan dan pengobatan (CST); Pelayanan kesehatan dasar dan Pendidikan sebaya.

Dalam melakukan program yang bertujuan untuk meningkatkan capaian layanan kesehatan ini, telah banyak masyarakat sipil yang peduli terhadap permasalahan pengguna napza suntik/penasun telah mengadopsi beberapa strategi , diantaranya adalah melalui ILOM (Indegenous Leaders Outreach Model), Community Development dan Community Organaizing. Sedangkan pemerintah yang diwakili satuan kerjanya di wilayah kesehatan melalui unit penyedia layanan kesehatan, lebih banyak menggunakan strategi kader masyarakat atau lay support untuk meningkatkan cakupan layanannya.

Seluruh pendekatan program ini juga didukung dengan instrumen kebijakan dan kesepakatan politis dari tahun 2003 yang bermula dengan adanya MoU antara Badan Narkotika Nasional dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yang didalamnya tercantum peran kerjasama dalam mensikap permasalahan narkoba dan HIV/AIDS. Kemudian kesepakatan Sentani pada tahun 2004 yang tercantum bahwa penggurangan dampak buruk napza suntik menjadi perhatian 6 kepala daerah. Kesepakatan Sentani ini diperluas hingga terdapat 14 kepala daerah pada tahun 2006, dengan dasar bahwa wilayah tersebut menjadi daerah konsentrasi populasi pengguna napza suntik.

Sedang instrumen kebijakan dalam mendukung program ini dengan terdapatnya peraturan menteri kesehatan nomor 675 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan pengurangan dampak buruk napza suntik. Kebijakan ini semakin menguatkan pelaksanaan teknis dengan kehadiran peraturan menteri koordinator kesejahteraan rakyat nomor 2 tahun 2007 tentang kebijakan nasional penggurangan dampak buruk napza suntik. Sementara itu, lahirnya UU Narkotika nomor 35 tahun 2009 secara ekspilisit tercantum bahwa pelaksanaan program penggurangan dampak buruk napza telah terakomodir dengan penjelasan bab IX tentang pengobatan dan rehabilitasi di penjelasan pasal 56 ayat 2 yakni “Rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah penularan HIV dan AIDS melalui jarum suntik dengan pengawasan ketat Depkes”

Strategi pendekatan dengan didukung instrumen kebijakan ini telah dapat memberikan konstribusi dalam pencapaian angka penjangkauan dan pendampingan pada komunitas pengguna napza suntik. Menurut estimasi tahun 2008 oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Surabaya terdapat sejumlah 4.230 orang pengguna napza suntik. Saat ini menurut data rekapitulasi Dinas Kesehatan kota secara komulatif pada tahun 2009, di kota Surabaya telah terjangkau 1.405 penasun.

Dengan peningkatan jumlah akses layanan kesehatan pada pengguna napza suntik diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam perubahan perilaku. Berdasar hasil dari Survey Terpadu Biologis Perilaku (STBP) di kota Surabaya pada tahun 2007 menunjukan data sebagai berikut:

Perilaku terkait napza pada pengguna napza suntik

*Per 100 orang penasun

Perilaku seksual pada pengguna napza suntik

*Per 100 orang penasun

Meski angka penasun yang terjangkau tidak sampai setengah dari angka estimasi dan perubahan perilaku belum terlihat menunjukan angka kemajuan, namun hasil ini tergolong angka yang cukup progresif bagi pelaksana program Harm Reduction, menginggat salah satu sifat pengguna napza suntik yang terkategori populasi tersembunyi. Namun yang perlu diperhatikan dari angka tersebut bahwa tidak sampai 3 persen di sumbangkan oleh pengguna napza suntik perempuan. Permasalahan strategi pendekatan atau penyedia layanan program Harm Reduction yang belum sepenuhnya memiliki pendekatan gender, disinyalir berdampak pada minimnya cakupan layanan kesehatan bagi pengguna napza suntik perempuan.

Pengertian gender selama ini selalu diidentifikasikan dengan perbedaan laki-laki dan perempuan secara jenis kelamin (Seks), padahal hal itu hanya merupakan pembedaan anotomi tubuh (biologis) terkait identitas seks seseorang. Gender salah satunya mengacu pada karakteristik laki-laki dan perempuan yang terkonstruksi sosial dengan dipengaruhi oleh wilayah kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini selalu dikaitkan dengan peran yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan didalam masyarakat yang dihubungan oleh relasi kekuasaan antara mereka. Sementara itu, perbedaan antara laki-laki dan perempuan ini secara sosial dapat memberikan pelajaran bahwa dapat berubah dari waktu ke waktu dan bervariasi baik di dalam dan antara budaya. Tidak terlepas, gender juga terbentuk dipengaruhi oleh orientasi seksual manusia itu sendiri yang pada akhirnya tercipta cara pandang seksualitas – heteroseksual, homoseksual, atau kombinasi keduanya.

Dalam wilayah kesehatan, laki-laki dan perempuan dengan identitas orientasi seksualnya yang dapat merepresentatifkan identitas gendernya, memainkan peranan yang berbeda dalam konteks sosialnya. Peran ini termasuk dalam menentukan kesehatan, dengan dasar bahwa terdapat perbedaan kebutuhan, permasalahan, penyakit tertentu dan lain sebagainya yang hanya berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Tidak hanya itu, variasi demografis, kelas sosial dan persoalan individu ikut menyertai dalam status kesehatannya. Sehingga hal inilah yang mempengaruhi sejauh mana mereka mampu memiliki akses ke, dan kontrol atas, sumber daya dan pengambilan keputusan yang dibutuhkannya untuk dapat melindungi kesehatan mereka sendiri.

Penerapan pendekatan gender ini tidak selalu mudah diterapkan, melainkan persoalan diskriminasi juga melingkupinya dengan ketentuan, persepsi, aturan publik atau privat dan atau kebijakan yang menegaskan bahwa seseorang tidak diperkenankan melakukan sesuatu karena terkait gendernya. Demikian pula yang terjadi pada program Harm Reduction termasuk instrumen kebijakan yang menyertainya tidak luput dikaitkan dalam relasi kekuasaan dan pengetahuan yang lantas membentuk realitas dan pola-pola dimana hal ini memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan “kebenaran umum” yang khas. Sehingga tercipta norma-norma yang direproduksi dan dilegitimasi dengan dipengaruhi oleh “struktur fungsional”. Dengan demikian, sejumlah kewajiban atau tanggung jawab negara dalam pemenuhan fungsi-fungsi publik, pada gilirannya, dikendalikan atas dasar selera atau kepentingan pasar yang salah satunya melalui penekanan bahwa layanan kesehatan ini hanya diprioritaskan bagi pengguna napza suntik laki-laki.

Dari uraian diatas yang kemudian didukung dengan minimnya data cakupan layanan kesehatan bagi pengguna napza suntik perempuan, begitu pula jika dikaitkan perilaku seksual yang beresiko pada pengguna napza suntik laki-laki terhadap pasangannya (otoritas tubuh), maka dalam layanan program Harm Reduction sangat penting memainkan peranan gender dalam pelaksanaan kegiatannya. Pengarusutamaan gender ini dimaksudkan agar terjadi perubahan kebijakan dari netral dan bias gender menjadi kebijakan responsif gender. Termasuk didalam perencanaan dan pelaksanaannya, melalui prespektif gender yang terkandung di dalam layanan kesehatan diharapkan dapat mengoptimalisasi sumber daya yang tersedia untuk membantu memperoleh hasil yang terbaik untuk kesehatan bagi semua.

Keadaan ini menjadikan pengharapan bahwa peningkatan kapasitas, terdapatnya ruang keterlibatan bagi pengguna napza suntik perempuan maupun pasangan pengguna napza suntik di dalam program Harm Reduction sedapat mungkin bisa mengakomodir permasalahan-permasalahan yang timbul berkaitan dengan gender diwilayah layanan kesehatan. Tidak terkecuali pada permasalahan kesehatan reproduksi, menurut Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (Kairo, 1994) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melihat hak reproduksi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Prinsip dasar pelaksanaannya adalah “universal human rights” dengan salah satunya diuraikan pada bab II yaitu tentang hak asasi perempuan merupakan bagian integral dari hak asasi manusia. Hak ini memutlakkan dua hal penting: 1) Penghapusan segala bentuk diskriminasi yang didasari atas jenis kelamin dan 2) Adanya peran serta maupun keterlibatan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan di semua tingkatan

Sehingga jika sensitivitas gender ini dapat dilakukan dalam pendekatan program Harm Reduction, maka tidak menutup kemungkinan, ketertarikan pengguna napza suntik perempuan maupun pasangan pengguna napza suntik dalam mengakses layanan kesehatan yang telah tersedia dapat ditingkatkan. Sementara itu, penunjang lainnya yang tidak kalah penting adalah keluarnya kebijakan-kebijakan yang berpihak dalam mendukung pelaksanaan kegiatan ini. (R5)
Thank you for visited us, Have a question ? Contact on : info@orbit.or.id
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Post a Comment