surabaya.tribunnews.com/Ahmad Zaimul Haq
Susi (bukan nama sebenarnya), menunjukkan bercak-bercak putih di tangannya yang muncul akibat konsumsi obat ARV.
SURYA.co.id | SURABAYA - Praktik prostitusi
bisa saja berhenti usai penutupan lokalisasi di sejumlah titik di
Surabaya, Namun, hal ini bukan berarti bahwa masalah dan dampak dari
praktik itu pun turut berakhir, Sebaliknya, saat ini patut diwaspadai
masalah kesehatan dan penularan HIV/AIDS.
Pasalnya, saat ini masih banyak wanita pekerja seks (WPS) yang kini
berjuang untuk sembuh dari HIV/AIDS. Mereka kini mendapat pendampingan
dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya maupun lembaga swadaya
masyarakat, yang konsen pada para penderita ini.
Susi (32), bukan nama sebenarnya, salah satu mantan WPS yang sudah
divonis positif HIV. Sejak 2013, ia bekerja di sejumlah tempat
prostitusi.
"Saya tiga tahun bekerja di Jurang Kuping, lalu freelance di Moroseneng dan di Dinoyo," ujar Susi.
Selama bekerja ia memang tidak terlalu peduli tentang keamanan dan kesehatan. Ia hanya memikirkan mendapat uang dan bisa hidup.
Ia baru tahu, dirinya positif HIV sejak Juli 2016. Saat itu, Susi baru lima bulan berhenti sebagai WPS.
"Saya nggak punya bayangan pria mana yang menularkan penyakit ini, wong tahunya positif lima bulan setelah berhenti," katanya.
Saat ditemui Surya, kondisi Susi tampak kurang fit. Sejumlah
lingkaran hitam tampak di bagian leher dan lengan Susi. Tidak hanya itu,
sekujur tubuhnya ada bercak putih di kulitnya. Setelah ditanya,
ternyata itu dampak konsumsi antiretroviral (ARV).
Lantaran telat, sejak pagi ia lemas dan mual. Bahkan sampai
muntah-muntah. Kulitnya luka dan menghitam. Saat ini ia didampingi
Yayasan Orbit, LSM yang konsen menangani penderita HIV/AIDS.
"Biasanya nebus ke RS BDH, sebulan hanya Rp 15.000. Dapat obat 30 biji, sehari diminum satu butir obat," terangnya.
Seharusnya, lanjut Susi, setiap hari harus minum ARV dan nggak boleh
terlambat. "Ini saya telat seminggu nggak minum obat karena kehabisan,
besok baru mau ambil di RS Bakti Dharma Husaha," ungkapnya.
Menurut Susi, saat ini, perhatian Pemkot terhadap kesehatan cukup
besar dan banyak membantu dirinya dan teman-teman yang terkena HIV/AIDS.
Tidak Sebarkan Penyakit
Sementara, Nur Sholeh, Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK)
Krembangan, mengungkapkan, masih banyak WPS yang saat ini dibina
pemerintah melalui TKSK.
Di kecamatannya, ada 40 orang yang dibina TKSK secara menyeluruh.
"Tindakan kami, mengontrol mereka. Apakah sudah minum obat, tanggal
sekian waktunya periksa, dan bagaimana persediaan obatnya," ucapnya.
Termasuk menguatkan mental mereka, meyakinkan bahwa mereka tidak
sendiri. Ini karena mereka terkadang down dan tidak bisa mengontrol
emosi.
Menurut Nur Sholeh, banyak pengidap HIV/AIDS yang kurang care dengan
kesehatannya. Mereka malas minum obat dan ketika obat habis tidak
langsung mengambil ke puskesmas dan RS. "Kami yang mengingatkan,"
katanya.
Hal senada juga disampaikan Wulan, pendamping Yayasan Orbit.
Menurutnya, hal yang konsen disampaikan dalam pendampingan, adalah tidak
menyebarkan penyakitnya.
Sebab ada WPS yang mengetahui dirinya HIV positif justru balas
dendam. "Ngajak anak-anak muda dengan harga murah. Makanya kami mencoba
mendampingi mereka untuk stop," ujar Wulan.
Meski lokalisasi sudah tutup, para eks WPS masih banyak yang membuka
praktik on call. Ini menjadi ancaman bagi penyuka jajan atau lelaki
hidung belang.
"Tetap jangan anggap remeh saat berhubungan seks. Harus menggunakan
kondom, jangan hanya demi nikmat sejenak akhirnya mau ditulari penyakit
yang hingga kini belum ada obatnya," pungkas Wulan.
0 komentar:
Post a Comment