INTRODUKSI
Adiksi atau ketergantungan opioida di
Indonesia merupakan fenomena yang sudah berlangsung berfluktuatif selama lebih
dari 4 abad yang lalu. Adiksi opioida khususnya dalam bentuk opium (candu,
madat) telah diketemukan di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa
itu, pemberian jatah opium dalam jumlah tertentu kepada pemadat dilindungi
berdasarkan peraturan perundang – undangan (Ordonansi Obat Bius).
Terapi ketergantungan opioida yang efektif
menurut WHO (2003) adalah terapi abstinensia dan terapi substitusi. Ada 3
bentuk terapi substitusi, yaitu : agonis opioida (metadon), antagonis opioida
(naltrekson) dan parsial agonis opioida (buprenorfin). Buprenorfin adalah salah
satu semi-sintetik opioida yang telah diketemukan sejak tahun 1965 dengan
melalui berbagai penelitian telah diapproved oleh FDA pada tahun 2002 dan
mendapat izin edar di Indonesia pada akhir tahun yang sama.
Seorang dokter dapat membuat resep buprenorfin
setelah mendapatkan pelatihan Buprenorphine Certification Training selama 7
jam, yang dipersyaratkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Buprenorphine
Guideline adalah buku pedoman bagi praktisi medis dalam menjalankan terapi
subtitusi dengan buprenorfin. Buku tersebut merupakan hasil kerja dari beberapa
disiplin ilmu kedokteran yang tergabung dalam Perhimpunan Dokter Seminat
Kedokteran Adiksi (INDOSAM atau Indonesian Society of Addiction Medicine) dan Perhimpunan
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJ).
Tentang Buprenorfin
Buprenorfin adalah suatu derivate
semisintetik dari morfin alkaloid, thebaine, dengan derajat lipofilik yang
tinggi, dan merupakan agonis opioida parsial pada reseptor
opioida µ dalam sistem saraf, dan juga antagonis reseptor opioida (kappa). Aktivitas agonis
intrinsiknya rendah, hanya mengaktifkan sebagian reseptor opioida µ, oleh sebab
itu efek maksimal yang dapat dihasilkan buprenorfin akan selalu lebih ringan
dibandingkan agonis opioida penuh seperti heroin, morfin dan metadon.
Buprenorfin memiliki afinitas tinggi
terhadap reseptor opioida µ, berikatan dengan reseptor ini lebih kuat daripada
agonis opioida penuh. Buprenorfin juga memiliki afinitas tinggi dan memiliki
sifat antagonis pada reseptor ,
sehingga pada keadaan tertentu buprenorfin dosis tinggi dapat menimbulkan
sindrom putus obat opioida (opioida withdrawal syndrome) dengan gejala
dan tanda yang serupa secara kualitatif tetapi tidak sama secara kuantitatif
dibandingkan akibat antagonis penuh seperti nalokson atau naltrekson. Profil
farmakologis
yang unik ini membuat buprenorfin memberikan
beberapa keuntungan dibandingkan terapi gabungan agonis – antagonis yang digunakan
dalam terapi ketergantungan opioida.
Keuntungan ini antara lain indeks keamanan
yang lebih besar terhadap terjadinya depresi pernafasan, tanda otonom dari
putus obat opioida yang lebih ringan, dan efek psikomimetik atau disforik yang lebih
ringan. Dengan efek respon opioida ganda maka ketika menghambat efek penggunaan
heroin sampingan, buprenorfin juga mengurangi penggunaan heroin sendiri.
Executive summary
of recommendations
Rekomendasi lengkap dapat dilihat
pada buku Buprenorphine Guidelines (Pedoman Klinis :
Penatalaksanaan
Ketergantungan Heroin dengan Buprenorfin) Level of evidence and grades of recomendation
dapat dilihat
pada tabel 1 dan tabel 2.
Memulai terapi
buprenorfin
Terapi buprenorfin hanya diindikasikan untuk
detoksifikasi dan terapi rumatan pasien dengan ketergantungan opioida.
Grade A, Level Ib
Kontraindikasi penggunaan buprenorfin :
- Siapa saja yang diketahui hipersensitif dan / atau mengalami efek samping berat dari paparan buprenorfin sebelumnya tidak dapat diobati dengan buprenorfin
- Insufisiensi pernapasan atau hepatik berat
- Pasien berusia kurang dari 18 tahun
- Alkoholisme akut atau delirium tremens
Grade C, Level IV
Perhatian khusus harus diberikan ketika
menilai kesesuaian terapi buprenorfin bagi siapa saja dengan kondisi klinis
sebagai berikut:
1. Berisiko tinggi menggunakan banyak
obat. Semua terapi substitusi opioida harus dipertimbangkan dengan
hati-hati pada individu yang menggunakan obat-obat lainnya, khususnya obat
sedatif seperti alkohol, benzodiazepin atau antidepresi. Penekanan khusus
Harus diberikan untuk menilai tingkat
neuroadaptasi terhadap opioida, pada keadaan
yang menggunakan obat sedatif lain secara
terus menerus, dan risiko overdosis.
2. Kondisi medis penyerta. Buprenorfin
adalah obat golongan opioida dan harus berhati-hati dalam penggunaannya di
situasi berikut ini :
- Trauma kepala yang baru terjadi atau peningkatan tekanan intrakranial.
- Fungsi pernapasan yang menurun. Buprenorfin, seperti opioida lain, harus digunakan dengan hatihati pada pasien dengan penyakit saluran napas obstruktif kronik atau corpulmonale, dan pada individu dengan cadangan kapasitas pernapasan yang menurun secara substansial, mengalami depresi pernapasan, hipoksia, atau hiperkapnea. Pada pasien pasien seperti ini, bahkan dosis terapetik yang biasanya aman dapat menurunkan refleks pernapasan dan secara bersamaan Meningkatkan resistensi saluran napas hingga ke tahapapnea.
- Kondisi akut abdomen. Penyakit hati berat. Perlu berhati-hati dalam mempertimbangkan terapi buprenorfin bagi pasien dengan gagal hati yang bermakna secara klinis. Penyakit hati berat dapat mengubah metabolisme hepatik dari obat. Akan tetapi, terjadinya peningkatan kadar enzim pada uji fungsi hati, tanpa bukti klinis terjadinya gagal hati, tidak menghalangi seseorang untuk diobati dengan buprenorfin.
- Pasien dengan risiko khusus. Opioida hanya diberikan dengan berhatihati, dan pemberian obat dosis inisial dikurangi pada pasien dengan berbagai kondisi berikut ini:
- Usia lanjut atau debilitasi
- Hipertrofi prostate atau striktur uretra
- Mengidap diabetes mellitus atau memiliki pre disposisi terhadapnya, dengan kemungkinan peningkatan glukosa serum pada pemberian buprenorfin.
- Penyakit ginjal berat. (Studi farmakokinetik tidak dilakukan pada kelompok ini, sehingga metadon menjadi pilihan pertama)
3. Kondisi psikiatrik penyerta. Terapi
subtitusi opioida tidak boleh dimulai pada pasien dengan psikosis akut, depresi
berat, atau kondisi psikiatrik lain yang sangat menurunkan kemampuan untuk memberi persetujuan setelah
penjelasan. Prioritas pertama haruslah suatu usaha untuk menatalaksana dan
menstabilisasi kondisi psikiatrik. Pasien dengan risiko sedang atau tinggi untuk bunuh diri
tidak boleh memulai terapi buprenorfin tanpa pengawasan yang adekuat, dan harus mencari saran
dari dokter ahli.
4. Nyeri kronik. Buprenorfin dapat
digunakan sebagai analgesik dalam penatalaksanaan
kondisi nyeri akut dan kronik (meskipun obat
ini tidak didaftarkan untuk tujuan ini), tetapi
pada dosis yang jauh lebih rendah dibandingkan
untuk ketergantungan heroin. Idealnya,
nyeri kronik paling baik di tata laksana di bawah
pengawasan sebuah tim dokter ahli multidisplin, dan harus mempertimbangkan
adanya rujuk atau konsultasi yang tepat harus dipertimbangkan.
5. Perpindahan dari dosisrumatan metadon.
Grade C, Level IV
Pedoman
terapi rumatan Faktor-faktor untuk dipertimbangkan ketika memilih farmakoterapi
rumatan:
- Respons terhadap terapi
- Variasi individu dalam tingkat absorpsi, metabolisme, dan bersihan.
- Kejadian tidak diinginkan (adverse event)
- Hal-hal yang mempermudah pemberian terapi
- Ringannya gejala putus zat dari terapi rumatan buprenorfin.
- Harapan pasien dan terapis terhadap hasil terapi.
- Kemampuan untuk berpindah dari terapi rumatan metadon.
Good Practice Points
Dosis inisial buprenorfin dianjurkan antara 2
dan 8 mg. Dosis inisial tidak boleh lebih besar dari 8 mg.
Good Practice Points
Dosis pertama buprenorfin harus diberikan
paling sedikit 6 jam setelah penggunaan heroin
terakhir.
Good Practice Points
Transfer ke buprenorfin
dari dosis metadon 40 mg atau kurang :
Pemberian buprenorfin pertama harus
diberikan paling sedikit 24 jam setelah penggunaan metadon terakhir, dan paling
sedikit 6 jam setelah penggunaan heroin terakhir.
Good Practice Points
Transfer ke terapi
buprenorfin dari dosis metadon > 40 mg: Transfer ke terapi buprenorfin dari dosis metadon 40 - 60 mg masih mungkin bagi pasien pasien yang memilih
untuk melakukannya. Prinsip umumnya adalah menghentikan
penggunaan metadon, dan menunda terapi awal buprenorfin hingga pasien mengalami
gejala putus opioida yang dapat diamati dan bermakna.
Hal ini secara umum berarti bahwa buprenorfin tidak dimulai hingga 48 - 96 jam setelah
penggunaan metadon terakhir. Dosis awal buprenorfin harus 4 mg.
Good Practice Points
Pasien dengan dosis metadon > 60 mg
sangat disarankan untuk mengurangi dosis menjadi < 60 mg sebelum transfer. Pasien yang tidak mampu
mengurangi dosis metadon hingga < 60 mg, tidak boleh ditransfer ke buprenorfin.
Good Practice Points
Stabilisasi Untuk mencapai stabilisasi dosis
buprenorfin dilakukan evaluasi pasien secara teratur untuk beberapa minggu pertama,
meliputi: dosis adekuat, gejala putus zat, efek samping, penggunaan obat lainnya.
Peningkatan dosis hanya dilakukan sesuai indikasi.
Good Practice Points
Dosis rumatan buprenorfin harus
dicapai dalam 1-2 minggu pertama terapi, tergantung ada tidaknya penggunaan
heroin atau NAPZA lainnya.
Good Practice Points
Berikut ini jadwal evaluasi minimal yang
direkomendasikan:
- Hari pertama setelah pemberian awal Buprenorfin: untuk mengidentifikasi awitan Precipitated withdrawal syndrome dan kecukupan dosis awal secara umum.
- Setiap 2-4 hari hingga stabil.
- Setiap minggu selama 4-6 minggu berikutnya.
- Setiap dua minggu selama 6-8 minggu berikutnya.
- Setelah dilakukan evaluasi setiap bulan, meskipun dokter dapat memperpanjang masa evaluasi hingga 3 bulan bagi pasien yang sangat stabil.
Good Practice Points
Dosis Rumatan Dosis rumatan efektif,
menghasilkan pengurangan penggunaan heroin dan Meningkatkan retensi dalam terapi, yang
dicapai dengan dosis tinggi buprenorfin dalam Kisaran 12 – 24 mg per hari. (Di Indonesia:
2-12 mg). Dosis harian buprenorfin
maksimum Yang direkomendasikan adalah 32 mg.
Good Practice Points
Kenyamanan pemberian obat dengan frekuensi
yang dikurangi harus dipertimbangkan bagi pasien yang memenuhi kondisi sebagai berikut
:
- Sekurang-kurangnya dua minggu dengan dosis buprenorfin yang sama
- Bukan tergolong “high-risk drug use” (yang dimaksud sebagai “high-risk drug use” adalah sering menyalahgunakan alkohol, benzodiazepin, heroin atau opioida lain; sering berobat untuk detoksifikasi; atau riwayat overdosis baru).
- Ada jaminan dari keluarga untuk menjaga kepatuhan pada rejimen berobat.
Good Practice Points
Take home dosage Tidak diperbolehkan memberikan obat dengan cara takehome
dalam terapi satu bulan pertama. Pada bulan kedua, dokter bersertifikat
diperbolehkan untuk memberikan obat take-home dalam keadaan khusus hingga
dua kali seminggu, memungkinkan hingga 72 jam penggunaan obat tanpa pemantauan.
Pada bulan ketiga dan seterusnya, dapat diberikan dosis takehome buprenorfin
maksimal untuk satu minggu. Dalam keadaan pasien melakukan perjalanan, dimana
pelayanan buprenorfin tidak tersedia, pasien diperkenankan untuk membawa dosis buprenorfin sesuai dengan kebutuhannya sebanyak maksimal kebutuhan 1 (satu)
bulan.
Good Practice Points
Intervensi Psikososial Terapi buprenorfin bukan merupakan terapi tunggal
untuk ketergantungan heroin. Tetap diperlukan intervensi psikososial. Pendekatan
konseling, seperti
motivational interviewing, pencegahan relaps dan pelatihan ketrampilan sosial, terapi
perilaku kognitif
(CBT), banyak digunakan dan cukup efektif.
Keterlibatan keluarga (Family Support Group/FSG) sangat membantu kepatuhan
pasien untuk mengikuti program terapi.
Good Practice Points
Missed Dose Pada pasien dengan rejimen berselang
sehari atau tiga kali seminggu kadang-kadang terjadi satu kali pemberian obat terlewat.
Jika pasien tersebut datang ke terapis pada hari berikutnya (’bukan hari
pemberian obat’), maka diberikan buprenorfin dengan dosis yang lebih rendah
untuk membantu kesulitan pasien hingga jadwal pemberian obat berikutnya.
Good Practice Points
Pasien yang berulang kali
tidak mematuhi jadwal pemberian obat harus memulai kembali prosedur terapi dari awal termasuk
informed consent yang baru.
Good Practice Points
Terapi withdrawal heroin Sebagaimana
penggunaan obat-obatan (farmakoterapi) pelaksanaan pelayanan putus zat
berkaitan dengan : asesmen, penyesuaian terapi dengan kebutuhan pasien, rencana
tindakan detoksifikasi, dan dukungan psikososial.
Good Practice Points
Pasien membutuhkan informasi sehubungan
dengan : dasar dan durasi gejala-gejala putus zat, strategi untuk berhasil dengan gejala
dan kecanduan, strategi untuk menghilangkan situasi dengan risiko tinggi, dan peran
terapi.
Good Practice Points
Pemberian obat dengan cara take-home
dosage tidak direkomendasikan selama periode terapi detoksifikasi.
Good Practice Points
Durasi terapi dengan buprenorfin yang
direkomendasikan untuk penatalaksanaan putus heroin adalah 4 – 8 hari.
Good Practice Points
Kejadian tidak diinginkan (adverse
Events) terapi buprenorfin. Efek samping buprenorfin secara kualitatif mirip dengan opioida lain
yang digunakan dalam terapi rumatan, tetapi dengan gejala yang lebih ringan.
Grade B, Level Ib
Dimana terjadi penyimpangan penggunaan
buprenorfin, pasien harus diperingati bahwa mereka mungkin harus transfer dari terapi
buprenorfin ke terapi metadon, yang lebih mudah untuk diawasi.
Good Practice Points
Penulisan resep, pemberian dan
pendistribusian buprenorfin Penulisan resep untuk buprenorfin harus dalam
formulir resep standar. Resep yang sah harus menjelaskan hal yang berikut ini:
- Nama dan alamat dari dokter yang meresepkan yang telah mendapatkan ijin untuk meresepkan.
- Nama dan umur pasien
- Tanggal peresepan
- Sediaan obat yang akan diresepkan (tablet sublingual buprenorfin)
- Dosis buprenorfin yang diberikan dalam mg (kata kata dan angka)
- Jadwal pemberian obat yang berbeda harus dituliskan secara terpisah (sebagai contoh : dosis 24jam, dosis 2-hari atau 3hari), sebutkan secara rinci nama hari di-mana pasien akan diberikan obat.
- Tanggal memulai resep dan berakhirnya resep.
- Resep tidak boleh diulang (ne iterater)
Good Practice Points
Penulisan resep buprenorfin hanya boleh
dilakukan oleh dokter yang telah memiliki sertifikat yang diakreditasi oleh Perhimpunan
Dokter Seminat Kedokteran Adiksi Indonesia (The Indonesian Society of Addiction
Medicine/INDOSAM) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia
(PDSKJI).
Good Practice Points
Kesimpulan Buprenorphine Guideline merupakan
pegangan standar dalam terapi subtitusi ketergantungan opioida menggunakan buprenorfin.
(dr. Al. Bachri Husin, SPKJ)
Sumber: http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLainnya/Buletin%20Info%20POM/0107.pdf
0 komentar:
Post a Comment