Our Right To Be Independent | Members area : Register | Sign in

Orbit Update News

Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Napza Suntik - Laporan KPA Nasional Tahun 2006-2011

Share this history on :
Pada tahun 2006 sumber utama penularan HIV di Indonesia adalah penggunaan napza suntik. Berbagai dampak buruk penggunaan napza suntik antara lain adalah: a) kematian karena overdosis, b) infeksi HIV, hepatitis B dan C, sifilis maupun beberapa penyakit lain yang ditularkan melalui darah; c) kelainan kepribadian dan sosial jangka panjang dengan kemungkinan perilaku kriminal akibat kecanduan yang tak terkendali dan dorongan untuk pemuasan kecanduan tersebut. Belajar dari pengalaman yang terbatas dengan aktivis harm reduction, LSM, RSKO, program AIDS yang didukung oleh AusAID dan USAID, WHO, beberapa KPA Provinsi/Kabupaten/ Kota, Kemkes dan Kementerian Hukum dan HAM, pada saat Komitmen Sentani dalam tahun 2004, sudah jelas bahwa upaya harm reduction yang komprehensif bisa berhasil di Indonesia. Namun demikian terdapat berbagai kendala sosial, legal, dan layanan, yang menghambat upaya perluasan yang sangat dibutuhkan untuk melindungi generasi muda Indonesia dari dampak penyuntikan narkoba yang tidak aman dan menghentikanpenyebab utama infeksi HIV di Indonesia.

Langkah pertama yang dilakukan oleh Sekretaris KPAN untuk mengurangi hambatan hambatan tersebut diatas, adalah konsultasi dengan bidang hukum dan program kesehatan berbagai sektor pemerintah antara lain, POLRI, Kemkes, Badan Narkotika Nasional, Kemsos, Kemdiknas dan lain-lain, untuk mempersiapkan peraturan perundangan yang lebih kondusif. Hasilnya adalah Peraturan Menkokesra no. 2 tahun 2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS melalui PenguranganDampak Buruk Penggunaan Napza Suntik. Pengurangan dampak buruk penggunaan napza suntik menggunakan pendekatan kesehatan masyarakat dan bertujuan mencegah penyebaran HIV di kalangan penasun dan pasangannya, serta mencegah penyebaran HIV dari penasun dan pasangannya ke masyarakat luas.

Sekretariat KPAN bekerjasama dengan para penasun, penegak hukum termasuk POLRI, Kemkes, BNN, dan Kementerian Sosial meluncurkan kampanye yang intensif dengan advokasi, pelatihan, kebijakan dan panduan untuk pengintegrasian Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan Program Terapi Rumatan Methadon (PTRM) ke dalam sistem kesehatan masyarakat (puskesmas, klinik dan RS). Aspek kemanusiaan pun diperhatikan termasuk proses pemberdayaan penasun dan aktivis lainnya agar keduanya memberikan masukan untuk menjamin program dan layanan yang berhasil - dan berdaya-guna, baik dalam masyarakat maupun lingkungan lapas/rutan.

Komitmen untuk perluasan dan peningkatan program pengurangan dampak buruk (harm reduction) yang komprehensif jelas tercantum dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional (SRAN) tahun 2007-2010 dan tahun 2010-2014. Untuk pelaksanaannya mulamula dipakai dana DKIA/IPF dan dukungan AusAID, kemudian (sejak Juli 2009) ditambah dengan dukungan dana Global Fund. Upaya pencegahan HIV di kalangan penasun secara bertahap menunjukkan kemajuan: dalam tahun 2005 hanya ada 17 LASS (di LSM dan puskesmas), pada bulan Juni 2011 jumlah LASS 194, diantaranya 160 sudah terintegrasi dalam layanan kesehatan masyarakat, sehingga lebih menjamin keberlanjutan jangka panjang dan akses pada layanan kesehatan yang lebih komprehensif termasuk pengobatan untuk AIDS, TB, hepatitis maupun layanan Ibu hamil bila dibutuhkan. (Lihat Grafik 3 di bawah)

Grafik 3: Pertambahan layanan pengurangan dampak buruk di Indonesia.

Namun demikian peran komunitas LSM (baik penasun maupun aktivis AIDS) tetap sangat penting, karena merekalah yang memberikan layanan pendampingan, pendidikan dan rujukan bagi penasun dan pasangannya. Pengobatan substitusi oral (Oral Substitution Therapy = OST) dengan metadon atau buprenorfin juga meningkat: pada tahun 2005 baru ada 3 tempat, pada tahun 2011 mencapai 65 klinik, 9 di lapas, 22 di RS dan 34 di puskesmas.

Salah satu komponen penting dalam pengurangan dampak buruk adalah pengobatan ketergantungan obat, sebuah program baru untuk memperluas jangkauan pengurangan dampak buruk yang komprehensif. Komponen ini adalah Pemulihan Adiksi Berbasis Masyarakat (PABM). Layanan PABM mulai tersedia di Indonesia pada tahun 2009. Pada bulan Juni 2011, sebanyak 675 penasun telah menyelesaikan program PABM selama 6 bulan (terdiri dari 1 - 2 bulan rawat inap dengan konseling yang sangat intensif, detoksifikasi jika dibutuhkan, dukungan psikososial, diikuti dengan periode yang lebih lama untuk rawat jalan ataupun untuk kegiatan lain), sampai dengan jumlah 2011, PABM dilakukan oleh 11 LSM di 7 provinsi.

Memang sudah tampak adanya kemajuan dalam penanggulangan HIV dan AIDS di kalangan penasun, namun muncul tantangan-tantangan baru antara lain peningkatan penggunaan ATS (amphetamine type stimulants) dan obat-obat “perangsang seks” lainnya dengan akibat peningkatan hubungan seks berisiko.

Laporan selengkapnya download disini

Thank you for visited us, Have a question ? Contact on : info@orbit.or.id
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Post a Comment